Selasa, 16 September 2008

Mengagas Mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif Di Nagari

Vino Oktavia.M, S.H.


Banyak wacana, opini dan pemikiran brilian yang mulai berkembang di tingkat publik berkaitan dengan mekanisme penyelesaian sengketa di local (nagari). Terlebih dengan semakin cepatnya proses persiapan dan penyusunan draf revisi Perda No. 9 tahun 2000 tentang pokok-pokok pemerintahan nagari yang tengah digelar oleh Pemda Provinsi Sumbar dan rencananya akhir bulan Februari 2006 akan diajukan Gubenur Sumbar kepada DPRD Sumbar. 

Selain itu, berbagai penelitian-pun telah dan sedang digelar oleh berbagai kalangan baik LSM, akademisi, penggiat maupun pihak lainnya. Semuanya hanya dengan satu  tujuan untuk mengagas dan merumuskan kembali sebuah model yang cocok sebagai mekanisme alternative dalam penyelesaian sengketa di tingkat local (baca nagari). 

Upaya yang tengah dilakukan oleh berbagai kalangan ini,  tentunya menyimpan misi mulia dan alasannya yang kuat. Barangkali alasan ini juga lahir dari sebuah akumulasi krisis kepercayaan masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian sengketa melalui peradilan formal “bentukan negara”.  Saat ini peradilan negara memang lagi diuji, disorot dan mendapat imege negatif dari masyarakat karena perannya tidak mampu memberikan rasa keadilan bagi pencari keadilan. Apalagi issue suap dan maraknya praktek “mafia peradilan” sedang berhembus dan menerpa lembaga paling terhormat ini. Sedang pada sisi lain, masyarakat tengah mengimpikan sebuah lembaga penyelesaian sengketa yang adil, terbuka, sederhana, cepat dan mampu memberikan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat. 

Bagi masyarakat Sumbar sendiri, sengketa yang sering mereka hadapi adalah sengketa adat (sako dan pusako) di tingkat kaum, suku dan nagari. Keberadaan Kerapatan Adat Nagari (KAN) selama ini dianggap belum mampu memberikan sesuatu yang lebih dalam penyelesaian sengketa secara adil. Akhirnya sengketa yang tidak terselesaikan di tingkat KAN bermuara seluruhnya di PN, PT dan MA yang telah menumpuk dan terkatung-katung tanpa kepastian hukum yang jelas.
 
Berangkat dari ragam persoalan ini, kemudian kembali lahir berbagai pemikiran dan wacana untuk mengagas kembali sebuah model mekanisme penyelesaian sengketa alternative di tingkat lokal, tentunya selain peradilan formal yang berlaku sekarang. Sebelumnya sempat muncul kembali wacana untuk menghidupkan sistim peradilan adat. Bila peradilan adat dijadikan sebuah pilihan, tentu saja perlu dikaji secara mendalam, serius dan komprehensif bukan sekedar konsep yang tidak populis dan kontekstual. Kecuali kita mau terjebak kembali pada konsep dalam tataran wacana (dipermukaan saja) dan retorika miskin makna. Setidaknya bila pilihannhya jatuh kepada peradilan adat, minimal harus tersedia sistim, perangkat dan infrastruktur pendukungnya yang kontekstual dan sesuai dengan kondisi sosial dan budaya yang melekat pada aparat pelaksananya. 

Aparat pelaksana peradilan adat yang dimaksud adalah hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus suatu sengketa. Aparat pelaksananya , tentu saja berasal dari pemuka adat/pangulu/niniak mamak atau KAN yang juga dianggap sebagai lembaga yang menjalankan kekuasaan peradilan adat di tingkat nagari (perda 9/2000 tentang pokok-pokok pemerintahan nagari). Harus diakui juga bahwa persoalan terberat saat ini adalah telah terjadinya degradasi dan kehancuran nilai-nilai adat termasuk ditingkat pangulu dan niniak mamak sendiri. Bahkan lebih jauh dan tak tersembunyikan lagi justeru ada beberapa oknum niniak mamak/pangulu yang menjadi pelaku dalam penghancuran adat dan budaya Minangkabau sendiri. 

Memang akar kehancuran ini, sebagian besar bersumber dari intervensi negara dan kebijakan politik negara yang tidak berpihak dan menahun. Tetapi andil terhadap kehancuran adat ini juga bersumber dari pangulu/niniak mamak atau KAN sendiri. Hal inilah persoalan pertama yang perlu diselesaikan bila peradilan adat tetap dijadikan pilihan atau alternative. KAN yang mendapat legalisasi politik oleh Perda No.9/2000 tentang pemerintahan nagari. 

Bila dicermati ketika berlakunya Perda No. 9 tahun 2000, keberadaan KAN masih menjadi lembaga formalitas belaka dalam penyelesaian sengketa di tingkat nagari (pemadam kebakaran). Perannya belum menyentuh substansi yang  diinginkan. Parahnya sebagian dari oknum pangulu/niniak mamak atau KAN  yang terlibat dalam proses jual beli tanah ulayat dan konflik tanah ulayat itu sendiri. Perilaku ini mencoreng wajah pemuka adat kita hari ini, pemengan tongkat amanah ”didahulukan selangkah, ditinggikan serantiang, kemenakan dibimbiang, anak dipangku dan urang kampung di patenggangkan”.  

Belum lagi konsteks politik hukum negara yang terjadi saat ini, dimana telah  terjadi benturan maha dasyat antara ”hukum adat dengan hukum negara”. Hukum adat selalu dikalahkan oleh hukum negara bahkan unifikasi hukum ciptaan negara-pun berhasil meluluh-lantakan hukum adat yang bersifat pluralis. Bahkan pangulu/niniak mamak atau KAN juga telah terjebak menjadi pelaku (aktor) dalam proses unifikasi hukum adat menjadi hukum negara (negaraisasi). Bukankah hukum negara merupakan produk proses politik dan sarat dengan kepentingan si pembuatnya bukan si pemakainya. Oleh karenanya banyak hal yang perlu dipersiapkan, dibenahi dan dilakukan bila kita masih mengimpikan peradilan adat sebagai mekanisme penyelesaian sengketa di nagari.  

Menurut hemat saya,  yang perlu didudukan dan dirumuskan terlebih dahulu adalah hakekat (roh/semangat) lembaga penyelesaian sengketa itu sendiri. Dimana lembaga/badan penyelesaian sengketa, dilihat secara komprehensif dan integral baik sistim, perangkat pelaksana, infrastruktur pendukung lainya, sekaligus mengandung empat (4) hal pokok yakni  prinsip, sifat, asas dan kontekstual. 

Prinsipnya mampu memberikan rasa keadilan bagi pencari keadilan, sifatnya mendamaikan para pihak yang bersengketa ”win-win solution” (tidak menimbulkan akibat lain), asasnya sederhana, cepat dan biaya murah dan kontekstual,  artinya sesuai dengan kondisi sosial, budaya dan psikologis masyarakat setempat. Hal inilah selama ini yang belum terlihat jelas pada pengadilan formal, bentukan negara (peradilan negara atau KAN ditingkat nagari.

Kedepan demi terciptanya lembaga dan mekanisme penyelesaian sengketa yang adil dan transparan sesuai dengan prinsip dasar diatas. Memang sudah saatnya digagas sebuah lembaga penyelesaian sengketa alternatif di luar peradilan formal (non litigasi). Apakah seperti mediasi atau arbitrase yang kedudukanya berada di tingkat  lokal (nagari).  Bersifat mendamaikan dengan mengunakan prinsip win-win solution (sama-sama menang) tanpa ada yang merasa dimenangkan atau dikalahkan. 

Mekanismenya cukup sederhana, para pihak yang bersengketa dapat secara bebas menunjuk pihak penengah yang indenpenden (netral). Pihak ini berperan dalam memfasilitasi penyelesaian sengketa kedua belah yang disesuaikan dengan materi atau substansi diselesaikan. Misalnya masalah sako dan pusako, para pihak diberikan kebebasan untuk memilih pihak penegahnya. Apakah dari pangulu/niniak mamak atau malah dari pihak luar tentunya mereka adalah orang-orang yang paham, mengerti dengan konsteks masalah yang diselesaikan. Tidak ada jaminan pihak penegahnya harus berasal dari pangulu/niniak mamak yang ada di nagari, bisa saja orang lain sepanjang mereka dipercayai oleh kedua belah pihak dan menguasai seluk beluk adat dan substansi yang di sengketakan. 

Hal ini bukan berarti meminggirkan otoritas pangulu/niniak mamak/KAN dalam penyelesaian sengketa di nagari. Tapi prinsipnya adalah rasa keadilan masyarakat, menjadi kebutuhan dan menjamin kepastian hukum para pencari keadilan (cepat, murah dan sederhana). Harapanya sengketa yang terjadi di masyarakat tidak lagi mengalir deras ke pengadilan negara (PN, PT dan MA). Tetapi dapat mengurangi menumpukan perkara di pangadilan formal dan tidak terkatung-katung sedemikian lama tanpa sebuah kepastian. Hal ini juga dapat menerpa keraguan dan ketidakpastian hukum dari putusan KAN yang dianggap tidak memiliki kekuatan eksekusi. Konsep pihak penengah (arbiter/mediator) tidak membutuhkan kekuatan eksekusi, karena putusannya sedapat mungkin tidak merugikan para pihak yang bersengketa. Para pihak akan menjalankan putusannya dengan kesadaran dan kebebasan tanpa adanya tekanan/paksaan. Mekanisme ini dalam penyelesaian sengketa di tingkat nagari tetap memengang teguh prinsip ”Bajanjang Naik Batanggo Turun”. Pihak menengah hanya berada di tingkat nagari. Sedangkan penyelesaian sengketa di kaum/suku tetap menjadi peran dan kewenangan pangulu kaum /pangulu suku itu sendiri. Bila tidak tercapai penyelesaian baru di bawa ke pihah penengah (arbiter-mediator) lokal sebagai media penyelesaian sengketa alternatif.

Apabila telah menempuh penyelesaian di tingkat penegah, para pihak yang bersengketa masih tidak puas atau tidak berhasil didamaikan maka sengketa yang demikian di ”coling down” sementara waktu paling lama enam bulan. Sedangkan obek yang mereka sengketakan berada dibawah pengawasan nagari (sita nagari). Setelah enam bulan, dilakukan kembali penyelesaian oleh pihak penengah yang keputusannya mengikat dan bersifat final (tidak  terbuka lagi peluang untuk mengajukan upaya hukum). 

Pangulu Rantau “Ala Minangkabau”

Vino Oktavia. M. S.H.
Koordiv. Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Hak Ekosob) LBH Padang

Upacara pemberian gelar adat dalam istilah adat Minangkabau di kenal dengan istilah “Batagak Pangulu” dengan memberikan gelar sako kepada seseorang anggota Kaum atau suku. Gelar sako yang diberikan kepada salah satu anggota kaum atau persukuan dilakukan dengan ketentuan menurut garis keturunan matrilineal secara turun temurun bahkan untuk peresmiannya saja dilakukan dengan penghelatan yang cukup wah, dengan menyembelih seekor kerbau atau sejenisnya dan mengundang seluruh pemangku adat yang ada di nagari termasuk para pejabat di daerah. Begitulah saking sakral dan pentingnya upacara “Batagak Pangulu” dilakukan.

Disamping itu, kita juga mengenai adanya pemberian gelar adat sebagai penghormatan atau gelar adat kehormatan, tentunya kepada orang-orang yang anggap berjasa kepada masyarakat Minangkabau. Misalnya gelar adat yang diberikan kepada Gubenur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubono IX, Surya Paloh dan kepada tiga pimpinan negeri Jiran beberapa waktu yang lalu.

Dalam konteks pemberian gelar adat, menurut hemat saya, yang perlu dicermati bukan pada persoalan upacara pemberiannya (gelar adat) dengan penghelatan yang cukup besar bahkan kemudian diekspos ke berbagai media baik cetak maupun elekronik (kerangka sosialisasi). Tetapi yang perlu dicermati adalah justeru terletak pada makna dan arti pentingnya pemberian gelar adat kepada orang minang yang sedang berada di perantauan. 

Pemberian gelar adat kepada anak kemenakan sebagai datuak, pangulu atau niniak mamak. Kita bersama-sama mengetahui bahwa pemberian gelar tersebut bukan dilihat dalam konteks formalitas belaka, tetapi lebih diartikan pada peran dan fungsi niniak mamak itu sendiri sebagai pimpinan yang mengemban amanah dari anak kemenakannya serta dalam tataran yang lebih pemberi amanah orang kampung dan nagari. 

Secara adat disebutkan bahwa pangulu atau datuak adalah orang yang “ditinggikan serantiang, didahulukan selangkah. Makna adat ini menunjukan bahwa pangulu atau datuak adalah mengemban fungsi dan tugas sebagai pimpinan, baik dalam kaum, suku maupun nagari. Hal ini terlihat dalam pepatah adat yang menyatakan bahwa “kaluak paku kacang balimbing, tempurung lenggang lenggokan, urang bajalan ka saruaso, anak dipangku, kemenakan dibimbiang, urang kampuang dipatengkan, jago nagari jang banaso”. 

Mencermati kedua pepatah adat diatas, pangulu atau datuak di Minangkabau mengemban tugas dan tanggung jawab yang cukup berat, tidak saja kepada kemenakan, anak tetapi juga orang kampung dan nagari. Apabila tugas dan tanggung jawab ini tidak berjalan sebagaimana mesti dapat berakibat kepada binasanya nagari. Jadi fungsi dan peran pangulu atau datuak yang dilewakan secara adat melalu upacara sakra “Batagak Pangulu” bukan sekedar formalitas belaka saja. 

Nah, bagaimana dengan pangulu atau datuak yang telah dilewakan gelar adat (sako) tersebut tidak berada dikampung halamannya tetapi mereka tinggal dan hidup diperantauan. Inilah sesuatu yang menurut hemat saya sesuatu yang ironis dan fenomenal hari ini. Tak bisa kita pungkiri, saat ini sangat banyak gelar adat, apakah sebagai pangulu atau datuak di tingkat kaum dan suku yang mereka tidak berada di kampungnya tetapi diperantauan, misal di Jakarta, Medan, Bandung dan daerah lainnya. Pendek kata jauh dari kampung halamannya, kalau-pun mereka pulang hanya pada saat hari raya saja atau karena ada salah satu sanak keluarganya yang meninggal dunia bahkan terkadang hal seperti ini-pun tertinggalkan maklum kesibukan orang perkotaan. 

Ironis memang, pertanyaan kemudian yang mengelitik adalah kapan waktunya bagi pangulu atau datuak yang telah dilewakan dengan gelar adat tersebut sebagai pimpinan akan menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diembannya untuk membimbing anak kemenakan, orang kampung dan nagarinya sendiri. Fakta ini mungkin sulit untuk kita jawab, tetapi fakta yang kita lihat dalam kehidupan sehari-hari adalah pangulu atau datuak yang berada diperantauan tersebut biasanya mereka akan menunjuk dan mengangkat salah seorang wakilnya dikampung yang disebut dengan “Panungkek” . Panungkek lah yang mengantikan tugas dan tanggung jawab pangulu atau datuak yang diperantauan tadinya seperti rapat adat, membina dan membimbing anak kemanakan dan lain sebagainya terutama berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab pangulu atau datuak di kampung halamannya. 

Bila kita lihat sepintas lalu saja, cukup memperihatinkan kondisi seperti ini, apakah tidak cukup baik dan efektif, bila pangulu dan datuak yang diangkat dan diberi gelar adat (sako) tersebut, dilewakan saja kepada anak kemanakan atau keluarga yang berada dan menetap dikampung. Dari pada melewakan atau memberikan tugas dan tanggung jawab kepada seseorang yang sebenarnya mereka tidak memiliki waktu, tenaga, kesempatan bahkan pengetahuan adat itu sendiri. Mungkin lebih efektif dan cukup berarti peran dan fungsi pangulu atau datuak itu sendiri ketimbang mengangkat pangulu atau datuak yang berada dan menetap diperantauan.

Tetapi itulah yang fenomena dan fakta kongkrit yang membuat kita terheran-heran di dunia modern ala masyarakat Minangkabau saat ini. Banyak pemahaman dan pola pikir orang kita yang telah bergeser dari tatanam nilai yang sebenarnya ke hal-hal yang sebenarnya tidak memiliki arti dan makna mendalam. Mungkin juga kita sudah terjebak dan masuk pada skenario yang justeru berupaya untuk menghancurkan tatanan adat dan masyarakat Minangkabau sendiri, tetapi kadang kala kita sendiri pernah menyadarinya. Itulah fotret masyarakat minangkau ala moderen dan sok-sok canggih hari ini. 

Bagi mereka sesuatu yang menarik dan membanggakan tersebut adalah hal-hal yang bersifat formalistis, simbolisasi bahkan juga politik atas nama. Mereka tidak lagi bangga dan tertarik pada sesuatu yang sebenarnya memiliki arti, makna dan manfaat bagi anak kemenakannya, orang kampung bahkan nagari.

Coba kita fikirkan sesaat, apa guna dan manfaatnya gelar adat seperti datuk ini, datuk itu di perantauan, tentunya orang di rantau tersebut tidak mengerti. Kalau-pun mereka mengerti dan paham mungkin hanya untuk hal-hal yang bersifat formalistis belaka saja dan kebanggaan tanpa makna atau sekedar menunjukan bahwa kita seorang datuak atau pangulu. Kalau hanya untuk itu tentunya sudah terjadi proses pengecilan terhadap arti dan makna seorang pangulu atau datuak itu sendiri. Justeru peran, fungsi dan tanggung jawab seorang pangulu atau datuak yang paling dibutukan saat ini adalah di kampung bukan di perantauan. 

Bila dilihat lebih jauh, fakta ini secara tidak langsung telah berakibat terjadinya distorsi atau pergeseran nilai-nilai adat Minangkabau itu sendiri bahkan telah kehilangan jati diri dan indentitas atau kedepan tak dipungkiri akan terjadi “kematian adat minangkabau” itu sendiri. Sebagai contoh kecil saja, berapa banyak fakta yang kita lihat anak kemenakan yang tidak kenal dan tahu lagi dengan mamaknya, parahnya kadangkala anak kemenakannya sendiri telah banyak memanggil mamaknya sendiri dengan panggilan “Om” bukan mamak lagi yang mungkin mulai asing ditelingganya. 

Begitu pula halnya dengan harta pusaka, dimana gelar adat (sako) tidak bisa dipisahkan dari pusaka (harta benda) yakni “sako dan pusako”. Artinya keberadaan sako sesungguhnya karena ada pusaka. Oleh karenanya pemberian gelar adat kepada seseorang salah satunya adalah untuk menjaga harta pusako agar tidak berpindah tangan atau habis terjual, tergadaikan kepada orang lain. Faktanya yang terjadi adalah hingga saat ini sudah lebih dari 60 % harta pusaka berupa tanah ulayat habis dan berpindah kepemilikannya kepada pihak lain di Minangkabau baik yang dikuasai pemerintah, militer maupun oleh perusahan termasuk tanah ulayat yang telah diindividualisasikan menjadi milik pribadi melalui program sertifikat tanah adat (ulayat). 

Pada persoalan tanah ulayat di Minangkabau yang sangat ironis sekali adalah kontribusi besar beberapa oknum pangulu, niniak mamak atau pemuka adat di tingkat nagari sebagai pelaku habisnya tanah ulayat di ranah minang ini. Dari beberapa temuan dilapangan pada konflik tanah ulayat, justeru niniak mamak, pangulu atau pemuka adat sendirilah yang menjadi pelaku penjualan dan penyerahan tanah ulayat kepada pihak ketiga, akhirnya konflik horizontal antara anak kemenakan dan mamaknya sendiri tak terhindarkan seperti di nagari Mungo Kab. 50 Kota dan nagari Kapar kab. Pasaman Barat. Sedangkan menurut adat Minangkabau yang kita warisi secara turun temurun telah digariskan bahwa status kepemilikan tanah ulayat atau harta pusaka (pusaka tinggi) adalah bersifat komunal dan tidak boleh diperjual belikan atau dipindah tangankan kepada pihak lain “dijua indak dimakan bali, digadai indak dimakan sando, buahnyo nan bisa diambiak dan aienyo nan bisa di minum, kabau tagak kubangan tingga” dan untuk menjaga dan melindungi keberlangsungan tanah ulayat bukankah itu tugas dan fungsinya seorang pangulu, niniak mamak atau pemuka adat di tingkat nagari yang telah dilewakan dengan upacara sakral “Batagak Pangulu” oleh anak kemenakannya.

Kedepan kondisi inilah yang semestinya menjadi bahan refleksi dan evaluasi kita bersama di Minangkabau (Sumatera Barat). Apabila kita masih bangga dengan adat dan budaya ranah minang yang merupakan ciri khas dan identitas kita sendiri dan rasa kebanggaan kita, tidak tinggal (tersisa) hanya sekedar romatisme masa lalu atau cerita politik orang minangkabau ketika berdiri di depan publik dan berbicara di forum-forum resmi tentang “keminangkabauan”. 

KONFLIK TANAH “MASYARAKAT VS MILITER” DI SUMATERA BARAT

Oleh : Vino Oktavia.M, S.H.

Konflik tanah di Sumatera Barat, umumnya adalah konflik tanah ulayat, baik antara sesama komunitas masyarakat adat (konflik internal-horizontal) maupun antara masyarakat adat dengan pihak ketiga (konflik eksternal-vertikal), terutama dengan pemerintah, perusahaan badan hukum swasta dan militer. Konflik tanah ini telah berlangsung lama, sejak pemerintahan penjajahan kolonial Belanda sampai pemerintahan SBY-JK saat ini. Namun faktanya terus saja terjadi bak air mengalir tanpa adanya rancangan skenario komprehensif (blue print) dari pengambil kebijakan di Sumatera Barat, yang ada hanyalah daftar panjang konflik tanah dan pelanggaran hak-hak masyarakat, baik pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) maupun pelanggaran hak sipil politik (sipol).  

Setidaknya sebanyak 116 kasus konflik tanah bersifat eksternal-vertikal dan bernuansa struktural telah terjadi Sumatera Barat, sejak tahun 2004-2008. Melibatkan banyak pihak salah satunya adalah militer, baik TNI-AD, TNI-AL maupun TNI-AU. Sekitar 35 kasus diantaranya terjadi pada sektor perkebunan, peternakan, pertambangan dan pariwisata dengan jumlah lahan sengketa diperkirakan mencapai 125.924 Ha + 14.748, 270 M2 dengan jumlah korban mencapai 27 nagari,  7 kaum,  44 KK, 25 orang3.

Konflik Tanah Masyarakat vs Militer di Sumatera Barat

Dari daftar panjang konflik tanah di Sumatera Barat, konflik tanah melibatkan institusi militer (TNI-AD, TNI-AL dan TNI-AU), tergolong konflik besar dan berdampak luas terhadap akses keadilan, demokratisasi dan penghormatan hak-hak masyarakat. Setidaknya dalam konteks relasi sipil dan militer sejak tahun 2004-2008, tercatat 25 kasus terlibat militer sebagai pelaku (actor) pelanggaran HAM (ekosob maupun sipol) di Sumatera Barat, 11 kasus diantaranya terlibat pada kasus pelanggaran hak atas lahan dan sumberdaya alam (SDA) lainnya4.

Dari beberapa konflik tanah di Sumatera Barat, keterlibatan institusi militer diantaranya adalah Pertama; Konflik tanah ulayat nagari antara masyarakat Nagari Mungo Kab. Lima Puluh Kota dengan Denzipur II Padang Mangatas (TNI-AD), seluas 175. 800 M2. Kedua; Konflik tanah ulayat nagari antara masyarakat Nagari Kapalo Hilalang Kab. Padang Pariaman dengan Korem 032 Wirabraja (TNI-AD), seluas 800 Ha. Ketiga; Konflik tanah antara warga RT 003/RW 001, RT 01 RW I Sungai Tarung Kel. Bungo Pasang dan warga RT. 01/RW 04, RT 01 RW 03 Kel.Dadok Tunggul Hitam Padang dengan Lanud Padang (TNI-AU), seluas 59 Ha. Keempat;  Konflik tanah pusako tinggi Kaum Marah Alamsyah Datuak Magek Marajo Suku Tanjuang Balai Mansiang Bukit Peti-Peti Teluk Bayur Padang dengan Lantamal XI (TNI-AL), seluas 5, 9 Ha.  Selain konflik tanah di atas, institusi militer juga seringkali terlibat dalam konflik sumberdaya alam (SDA) lainnya, seperti konflik dalam pengelolaan dan penguasaan sarang burung walet dengan masyarakat di Nagari Lubuk Jantan Kab. Tanah Datar dan Nagari Simarasok Kab. Agam.

Bila dicermati lebih jauh, sebenarnya keterlibatan institusi militer dalam konflik tanah maupun dalam SDA lainnya, tak terlepas dari kepentingan politik, arogansi kekuasaan dan ekonomi semata. Faktanya banyak tanah ulayat milik masyarakat secara sepihak diklaim dan dikuasai pada awalnya atas dasar tanah negara bekas erfach verponding atau atas dasar pengamanan, namun selanjutnya berubah menjadi ladang bisnis baru bagi institusi militer, seperti yang terjadi di Nagari Kapalo Hilalang Kab. Padang Pariaman.

Penguasaan tanah milik masyarakat oleh negara termasuk institusi militer, seringkali mengabaikan faktor historis dan asal usul tanah tersebut sebagai tanah ulayat masyarakat. Justeru ini pemicu utama sebenarnya terjadinya konflik tanah masyarakat vs militer di Sumatera Barat. Tanah ulayat Nagari Mungo dan Kapalo Hilalang misalnya, secara historis hak kepemilikannya jelas merupakan tanah ulayat nagari yang semasa pemerintahan kolonial Belanda disewakan atau dikontrakan kepada Pemerintah Hindia Belanda atau swasta asing dengan surat perjanjian tertulis5. Kondisi serupa juga terdapat pada tanah ulayat Nagari Kapalo Hilalang Kab. Padang Pariaman6 dan  tanah warga Dadok Tunggul Hitam Padang. Warga Dadok Tunggul Hitam Padang telah memiliki bukti kuat secara yuridis atas tanahnya, yakni putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde)7.  Namun faktanya tanah mereka tetap dirampas paksa dengan cara-cara  represif mengunakan kekuatan militer pada tanggal 12-15 Juni 2004 dengan memindahkan pilar-pilar batas tanah, selanjutnya  diklaim sebagai tanah erfacht verponding No. 1648 dengan adanya sertifikat HPL tahun 1971 dan 1972 yang diperbarui dengan sertifikat HPL tahun 2007 oleh BPN Kota Padang.

Ironisnya tanah ulayat milik masyarakat, tidak saja dirampas paksa dan diklaim secara sepihak, bahkan juga dijadikan ladang bisnis militer, seperti di atas tanah ulayat Nagari Kapalo Hilalang didirikan PT. Purna Karya untuk mengelola perkebunan karet, sebagian dipindahtangankan hak kepemilikannya kepada pihak lain, diantaranya PT. ELBI, PT. SLING8 dan warga pendatang untuk membangun rumah tanpa sepengetahuan Ninik Mamak nagari Kapalo Hilalang9.  

Problematika Konflik Tanah Masyarakat vs Militer

Dalam berbagai konflik tanah masyarakat vs militer, tentu saja mengalami banyak problematika. Disamping korbannya selalu berada dipihak masyarakat sipil, militer juga seringkali melakukan tindakan mengunakan kekuatan militer dan cara-cara represif ala orde baru, seperti intimidasi, terror dan ancaman terhadap masyarakat dalam menguasai tanah-tanah milik masyarakat, seperti yang masih pernah dialami oleh warga Dadok Tunggul Hitam Padang. Kondisi ini semakin memperlihatkan bahwa paradigma dan pola-pola represif yang digunakan militer masih belum berubah, agenda reformasi disektor pertahanan dan keamanan (security sector reform) menuju profesionalisme TNI , sejak tahun 2001  masih jauh panggang dari api.

Disamping itu, tindakan militer juga seringkali mendapat dukungan dan legitimasi politik serta yuridis dari pemerintah terutama pemerintah daerah dan BPN. Faktanya ini banyak ditemukan pada konflik tanah Kapalo Hilalang dan Dadok Tunggul Hitam Padang. Pemerintah daerah mudah sekali mengeluarkan izin dan hak atas tanah, berupa izin usaha perusahaan dan hak guna usaha (HGU), termasuk BPN melakukan pemetaan, pengukuran dan menerbitkan alas hak atas tanah, berupa peta tanah, sertifikat hak pengelolaan (HPL), hak pakai dan hak milik di atas tanah masyarakat, sehingga proses-proses manipulatif dan pemalsuan seringkali terjadi. Kondisi ironis ini, kadangkala kerap menyatu dengan sistim administrasi pemerintahan dan BPN yang masih buruk dan tidak transparan dalam masalah pertanahan. Bahkan kekuatan pimpinan daerah melalui Muspida atau Muspika pun sering digunakan untuk melegalisasi tindakannya (saling memanfaatkan) dalam menguasai tanah-tanah milik masyarakat. Oleh karenanya sudah saatnya Kepres No. 10 tahun 1986 tentang kedudukan Muspida di daerah dicabut karena sudah tidak sesuai lagi dengan proses demokrasi dan otonomi daerah daripada menjadi alat legitimasi politik,  kekuasaan dan alasan pembenar dari tindakannya.

Selain problematika di atas, dalam sengketa tanah masyarakat vs milter juga terdapat problematika politik hukum dan isi hukum dalam berbagai peraturan perundangan-undangan yang mengatur masalah pertanahan di Indonesia, terutama berkaitan dengan pengaturan penguasaan tanah-tanah negara dalam PP No. 8 tahun 1953, nasionalisasi dalam UU No. 86 tahun 1958, konversi hak-hak Barat, jenis hak atas tanah terutama HGU dalam UU No. 5 tahun 1960 serta pengaturan pendaftaran tanah dalam UU No. 5 tahun 1960 dan PP No. 24 tahun 1997, termasuk peraturan perundang-undangan agraria lainnya seperti UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Halmana hampir seluruhnya menisbikan keberadaan masyarakat adat beserta hak-haknya, sekalipun diakui masih bersifat mendua dan bersyarat.

Penerapan peraturan agraria nasional di Sumatera Barat selama ini, telah menimbulkan benturan hebat (konflik hukum) dengan ketentuan hukum adat yang berlaku atas tanah ulayat, bahkan menjadi sumber konflik terbesar dalam konflik tanah. Di Sumatera Barat, umumnya tanah ulayat yang berlaku ketentuan hukum adat, hak kepemilikan atas tanah bersifat komunal, tidak mengenal adanya tanah negara serta tidak diperbolehkan berpindahtangan status kepemilikannya kepada pihak ketiga. Tak terhitung lagi jumlah hektarnya tanah ulayat diklaim menjadi tanah negara dengan alas hak HGU, berpindahtangan kepada pihak ketiga dan berubah status menjadi tanah milik pribadi dengan alas hak sertifikat hak milik.

Anehnya Pemerintah Sumatera Barat pun memiliki andil besar dan terlibat langsung dalam upaya menghabisi keberadaan tanah ulayat dan masyarakat adat di kampung halamannya sendiri, terbukti dengan lahirnya Perda No. 2 tahun 2007 tentang Pokok Pemerintahan Nagari dan disahkannya Ranperda pemanfaatan tanah ulayat menjadi Perda. Dimana secara substansi bukannya memperkuat keberadaan masyarakat adat dan melindungi hak ulayat milik masyarakat adat, melainkan sebaliknya semakin menegasikan keberadaan masyarakat adat, mengancam keberadaan hak ulayat dan kembali menyuburkan akar konflik pertanahan di Sumatera Barat, coba lihat saja substansi pengaturannya lebih bersifat sentralistik, sektoral, diskriminatif, berwatak kapitalistik dan hanya menguntungkan pemilik modal, membunuh nilai-nilai demokrasi serta pengaturannya banyak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Penutup

Melihat kompleksnya permasalahan konflik tanah antara masyarakat vs militer yang telah terjadi di berbagai daerah selama ini, termasuk di Sumatera Barat.  Dimana tidak hanya pelakunya  institusi militer atau pun selalu mendapat dukungan dan legitimasi politik dari instansi pemerintahan lainnya. Tetapi justeru dampak yang ditimbulkannya yang telah berakibat buruk dan meluas bagi masyarakat sipil, baik berupa pelanggaran hak ekosob maupun sipol. Akibatnya masyarakat sipil semakin kehilangan hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman dan bebas dari rasa ketakutan. Jika kondisi ini terus dibiarkan dan tidak terselesaikan, maka juga akan semakin mengancam proses demokrasi dan penegakan hukum yang tengah diusung di republik tercinta ini, seperti yang terjadi pada konflik tanah warga Dadok Tunggul Hitam Padang di atas, putusan pengadilan berkuatan hukum tetap tetap (inkracht van gewijsde) dilanggar dan diabaikan begitu saja oleh institusi militer.

Tidak ada pilihan lain, konflik-konflik tanah melibatkan militer harus segera diakhiri, legitimasi pemerintah secara yuridis selama ini mesti dikaji ulang dan dipangkas habis, disamping proses penegakan hukum dan HAM terus dilakukan.  Oleh karena itu, kedepan diperlukan advokasi secara bersama-sama dari berbagai pihak dan pemangku kepentingan dengan model strategi advokasi bersifat bervariatif dan beragam (litigasi dan non litigasi) serta mencanangkan adanya upaya penegakan hukum bersifat kumulatif, yakni dengan mengunakan semua instrumen-instrumen hukum yang ada secara berlapis dan sekaligus.



3 Database kasus tanah ulayat LBH Padang tahun 2008

4 Database kasus pelanggaran HAM LBH Padang tahun 2004-2008

5 Nagari Mungo dan nagari tetangga lainnya (Nagari Sei. Kamuyang, Balai Panjang, Bukit Sikumpar, Andaleh dan Batu Panjang) pada tanggal 6 November 1918 membuat perjanjian tertulis sewa menyewa tanah ulayat seluas seluas 1500 Bouw dengan Pemerintahan Hindia Belanda untuk pemeliharaan ternak dengan uang sewa sebesar f 700 (tujuh ratus Gulden) per/tahun.

6  Tanah ulayat Nagari Kapalo Hilalang pada tahun 1904 disewa selama 75 tahun oleh NV. Java Rubber Mijs dan pada tahun 1923 oleh G.O.E Kreebs Hanover dengan uang sewa f1 (satu Gulden) per/bouw (0,7 Ha)

7 Putusan Landraad  Te Padang No. 90 tahun 1931 dan telah dieksekusi oleh PN. Padang dengan Daftar Eksekusi No. 35 tahun 1982 bahkan telah dikuatkan dengan Putusan Verstek PN. Padang tahun 1985.

8 PT. ELBI dan SLING merupakan dua perusahaan produksi Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang berada di Nagari Kapalo Hilalang Kab. Padang Pariaman.

9 Zenwen Pador, “Perjuangan Panjang Merebut Tanah Ulayat” (kasus perampasan tanah ulayat nagari Kapalo Hilalang oleh Korem 032 Wirabraja)