Oleh : Vino Oktavia.M, S.H.
Konflik tanah di Sumatera Barat, umumnya adalah konflik tanah ulayat, baik antara sesama komunitas masyarakat adat (konflik internal-horizontal) maupun antara masyarakat adat dengan pihak ketiga (konflik eksternal-vertikal), terutama dengan pemerintah, perusahaan badan hukum swasta dan militer. Konflik tanah ini telah berlangsung lama, sejak pemerintahan penjajahan kolonial Belanda sampai pemerintahan SBY-JK saat ini. Namun faktanya terus saja terjadi “bak air mengalir” tanpa adanya rancangan skenario komprehensif (blue print) dari pengambil kebijakan di Sumatera Barat, yang ada hanyalah daftar panjang konflik tanah dan pelanggaran hak-hak masyarakat, baik pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) maupun pelanggaran hak sipil politik (sipol).
Setidaknya sebanyak 116 kasus konflik tanah bersifat eksternal-vertikal dan bernuansa struktural telah terjadi Sumatera Barat, sejak tahun 2004-2008. Melibatkan banyak pihak salah satunya adalah militer, baik TNI-AD, TNI-AL maupun TNI-AU. Sekitar 35 kasus diantaranya terjadi pada sektor perkebunan, peternakan, pertambangan dan pariwisata dengan jumlah lahan sengketa diperkirakan mencapai 125.924 Ha + 14.748, 270 M2 dengan jumlah korban mencapai 27 nagari, 7 kaum, 44 KK, 25 orang.
Konflik Tanah Masyarakat vs Militer di Sumatera Barat
Dari daftar panjang konflik tanah di Sumatera Barat, konflik tanah melibatkan institusi militer (TNI-AD, TNI-AL dan TNI-AU), tergolong konflik besar dan berdampak luas terhadap akses keadilan, demokratisasi dan penghormatan hak-hak masyarakat. Setidaknya dalam konteks relasi sipil dan militer sejak tahun 2004-2008, tercatat 25 kasus terlibat militer sebagai pelaku (actor) pelanggaran HAM (ekosob maupun sipol) di Sumatera Barat, 11 kasus diantaranya terlibat pada kasus pelanggaran hak atas lahan dan sumberdaya alam (SDA) lainnya.
Dari beberapa konflik tanah di Sumatera Barat, keterlibatan institusi militer diantaranya adalah Pertama; Konflik tanah ulayat nagari antara masyarakat Nagari Mungo Kab. Lima Puluh Kota dengan Denzipur II Padang Mangatas (TNI-AD), seluas 175. 800 M2. Kedua; Konflik tanah ulayat nagari antara masyarakat Nagari Kapalo Hilalang Kab. Padang Pariaman dengan Korem 032 Wirabraja (TNI-AD), seluas 800 Ha. Ketiga; Konflik tanah antara warga RT 003/RW 001, RT 01 RW I Sungai Tarung Kel. Bungo Pasang dan warga RT. 01/RW 04, RT 01 RW 03 Kel.Dadok Tunggul Hitam Padang dengan Lanud Padang (TNI-AU), seluas 59 Ha. Keempat; Konflik tanah pusako tinggi Kaum Marah Alamsyah Datuak Magek Marajo Suku Tanjuang Balai Mansiang Bukit Peti-Peti Teluk Bayur Padang dengan Lantamal XI (TNI-AL), seluas 5, 9 Ha. Selain konflik tanah di atas, institusi militer juga seringkali terlibat dalam konflik sumberdaya alam (SDA) lainnya, seperti konflik dalam pengelolaan dan penguasaan sarang burung walet dengan masyarakat di Nagari Lubuk Jantan Kab. Tanah Datar dan Nagari Simarasok Kab. Agam.
Bila dicermati lebih jauh, sebenarnya keterlibatan institusi militer dalam konflik tanah maupun dalam SDA lainnya, tak terlepas dari kepentingan politik, arogansi kekuasaan dan ekonomi semata. Faktanya banyak tanah ulayat milik masyarakat secara sepihak diklaim dan dikuasai pada awalnya atas dasar tanah negara bekas erfach verponding atau atas dasar pengamanan, namun selanjutnya berubah menjadi ladang bisnis baru bagi institusi militer, seperti yang terjadi di Nagari Kapalo Hilalang Kab. Padang Pariaman.
Penguasaan tanah milik masyarakat oleh negara termasuk institusi militer, seringkali mengabaikan faktor historis dan asal usul tanah tersebut sebagai tanah ulayat masyarakat. Justeru ini pemicu utama sebenarnya terjadinya konflik tanah masyarakat vs militer di Sumatera Barat. Tanah ulayat Nagari Mungo dan Kapalo Hilalang misalnya, secara historis hak kepemilikannya jelas merupakan tanah ulayat nagari yang semasa pemerintahan kolonial Belanda disewakan atau dikontrakan kepada Pemerintah Hindia Belanda atau swasta asing dengan surat perjanjian tertulis. Kondisi serupa juga terdapat pada tanah ulayat Nagari Kapalo Hilalang Kab. Padang Pariaman dan tanah warga Dadok Tunggul Hitam Padang. Warga Dadok Tunggul Hitam Padang telah memiliki bukti kuat secara yuridis atas tanahnya, yakni putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Namun faktanya tanah mereka tetap dirampas paksa dengan cara-cara represif mengunakan kekuatan militer pada tanggal 12-15 Juni 2004 dengan memindahkan pilar-pilar batas tanah, selanjutnya diklaim sebagai tanah erfacht verponding No. 1648 dengan adanya sertifikat HPL tahun 1971 dan 1972 yang diperbarui dengan sertifikat HPL tahun 2007 oleh BPN Kota Padang.
Ironisnya tanah ulayat milik masyarakat, tidak saja dirampas paksa dan diklaim secara sepihak, bahkan juga dijadikan ladang bisnis militer, seperti di atas tanah ulayat Nagari Kapalo Hilalang didirikan PT. Purna Karya untuk mengelola perkebunan karet, sebagian dipindahtangankan hak kepemilikannya kepada pihak lain, diantaranya PT. ELBI, PT. SLING dan warga pendatang untuk membangun rumah tanpa sepengetahuan Ninik Mamak nagari Kapalo Hilalang.
Problematika Konflik Tanah Masyarakat vs Militer
Dalam berbagai konflik tanah masyarakat vs militer, tentu saja mengalami banyak problematika. Disamping korbannya selalu berada dipihak masyarakat sipil, militer juga seringkali melakukan tindakan mengunakan kekuatan militer dan cara-cara represif ala orde baru, seperti intimidasi, terror dan ancaman terhadap masyarakat dalam menguasai tanah-tanah milik masyarakat, seperti yang masih pernah dialami oleh warga Dadok Tunggul Hitam Padang. Kondisi ini semakin memperlihatkan bahwa paradigma dan pola-pola represif yang digunakan militer masih belum berubah, agenda reformasi disektor pertahanan dan keamanan (security sector reform) menuju profesionalisme TNI , sejak tahun 2001 masih “jauh panggang dari api”.
Disamping itu, tindakan militer juga seringkali mendapat dukungan dan legitimasi politik serta yuridis dari pemerintah terutama pemerintah daerah dan BPN. Faktanya ini banyak ditemukan pada konflik tanah Kapalo Hilalang dan Dadok Tunggul Hitam Padang. Pemerintah daerah mudah sekali mengeluarkan izin dan hak atas tanah, berupa izin usaha perusahaan dan hak guna usaha (HGU), termasuk BPN melakukan pemetaan, pengukuran dan menerbitkan alas hak atas tanah, berupa peta tanah, sertifikat hak pengelolaan (HPL), hak pakai dan hak milik di atas tanah masyarakat, sehingga proses-proses manipulatif dan pemalsuan seringkali terjadi. Kondisi ironis ini, kadangkala kerap menyatu dengan sistim administrasi pemerintahan dan BPN yang masih buruk dan tidak transparan dalam masalah pertanahan. Bahkan kekuatan pimpinan daerah melalui Muspida atau Muspika pun sering digunakan untuk melegalisasi tindakannya (saling memanfaatkan) dalam menguasai tanah-tanah milik masyarakat. Oleh karenanya sudah saatnya Kepres No. 10 tahun 1986 tentang kedudukan Muspida di daerah dicabut karena sudah tidak sesuai lagi dengan proses demokrasi dan otonomi daerah daripada menjadi alat legitimasi politik, kekuasaan dan alasan pembenar dari tindakannya.
Selain problematika di atas, dalam sengketa tanah masyarakat vs milter juga terdapat problematika politik hukum dan isi hukum dalam berbagai peraturan perundangan-undangan yang mengatur masalah pertanahan di Indonesia, terutama berkaitan dengan pengaturan penguasaan tanah-tanah negara dalam PP No. 8 tahun 1953, nasionalisasi dalam UU No. 86 tahun 1958, konversi hak-hak Barat, jenis hak atas tanah terutama HGU dalam UU No. 5 tahun 1960 serta pengaturan pendaftaran tanah dalam UU No. 5 tahun 1960 dan PP No. 24 tahun 1997, termasuk peraturan perundang-undangan agraria lainnya seperti UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Halmana hampir seluruhnya menisbikan keberadaan masyarakat adat beserta hak-haknya, sekalipun diakui masih bersifat mendua dan bersyarat.
Penerapan peraturan agraria nasional di Sumatera Barat selama ini, telah menimbulkan benturan hebat (konflik hukum) dengan ketentuan hukum adat yang berlaku atas tanah ulayat, bahkan menjadi sumber konflik terbesar dalam konflik tanah. Di Sumatera Barat, umumnya tanah ulayat yang berlaku ketentuan hukum adat, hak kepemilikan atas tanah bersifat komunal, tidak mengenal adanya tanah negara serta tidak diperbolehkan berpindahtangan status kepemilikannya kepada pihak ketiga. Tak terhitung lagi jumlah hektarnya tanah ulayat diklaim menjadi tanah negara dengan alas hak HGU, berpindahtangan kepada pihak ketiga dan berubah status menjadi tanah milik pribadi dengan alas hak sertifikat hak milik.
Anehnya Pemerintah Sumatera Barat pun memiliki andil besar dan terlibat langsung dalam upaya menghabisi keberadaan tanah ulayat dan masyarakat adat di kampung halamannya sendiri, terbukti dengan lahirnya Perda No. 2 tahun 2007 tentang Pokok Pemerintahan Nagari dan disahkannya Ranperda pemanfaatan tanah ulayat menjadi Perda. Dimana secara substansi bukannya memperkuat keberadaan masyarakat adat dan melindungi hak ulayat milik masyarakat adat, melainkan sebaliknya semakin menegasikan keberadaan masyarakat adat, mengancam keberadaan hak ulayat dan kembali menyuburkan akar konflik pertanahan di Sumatera Barat, coba lihat saja substansi pengaturannya lebih bersifat sentralistik, sektoral, diskriminatif, berwatak kapitalistik dan hanya menguntungkan pemilik modal, membunuh nilai-nilai demokrasi serta pengaturannya banyak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Penutup
Melihat kompleksnya permasalahan konflik tanah antara masyarakat vs militer yang telah terjadi di berbagai daerah selama ini, termasuk di Sumatera Barat. Dimana tidak hanya pelakunya institusi militer atau pun selalu mendapat dukungan dan legitimasi politik dari instansi pemerintahan lainnya. Tetapi justeru dampak yang ditimbulkannya yang telah berakibat buruk dan meluas bagi masyarakat sipil, baik berupa pelanggaran hak ekosob maupun sipol. Akibatnya masyarakat sipil semakin kehilangan hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman dan bebas dari rasa ketakutan. Jika kondisi ini terus dibiarkan dan tidak terselesaikan, maka juga akan semakin mengancam proses demokrasi dan penegakan hukum yang tengah diusung di republik tercinta ini, seperti yang terjadi pada konflik tanah warga Dadok Tunggul Hitam Padang di atas, putusan pengadilan berkuatan hukum tetap tetap (inkracht van gewijsde) dilanggar dan diabaikan begitu saja oleh institusi militer.
Tidak ada pilihan lain, konflik-konflik tanah melibatkan militer harus segera diakhiri, legitimasi pemerintah secara yuridis selama ini mesti dikaji ulang dan dipangkas habis, disamping proses penegakan hukum dan HAM terus dilakukan. Oleh karena itu, kedepan diperlukan advokasi secara bersama-sama dari berbagai pihak dan pemangku kepentingan dengan model strategi advokasi bersifat bervariatif dan beragam (litigasi dan non litigasi) serta mencanangkan adanya upaya penegakan hukum bersifat kumulatif, yakni dengan mengunakan semua instrumen-instrumen hukum yang ada secara berlapis dan sekaligus.
Putusan Landraad Te Padang No. 90 tahun 1931 dan telah dieksekusi oleh PN. Padang dengan Daftar Eksekusi No. 35 tahun 1982 bahkan telah dikuatkan dengan Putusan Verstek PN. Padang tahun 1985.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar