Vino Oktavia. M. S.H.
Koordiv. Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Hak Ekosob) LBH Padang
Upacara pemberian gelar adat dalam istilah adat Minangkabau di kenal dengan istilah “Batagak Pangulu” dengan memberikan gelar sako kepada seseorang anggota Kaum atau suku. Gelar sako yang diberikan kepada salah satu anggota kaum atau persukuan dilakukan dengan ketentuan menurut garis keturunan matrilineal secara turun temurun bahkan untuk peresmiannya saja dilakukan dengan penghelatan yang cukup wah, dengan menyembelih seekor kerbau atau sejenisnya dan mengundang seluruh pemangku adat yang ada di nagari termasuk para pejabat di daerah. Begitulah saking sakral dan pentingnya upacara “Batagak Pangulu” dilakukan.
Disamping itu, kita juga mengenai adanya pemberian gelar adat sebagai penghormatan atau gelar adat kehormatan, tentunya kepada orang-orang yang anggap berjasa kepada masyarakat Minangkabau. Misalnya gelar adat yang diberikan kepada Gubenur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubono IX, Surya Paloh dan kepada tiga pimpinan negeri Jiran beberapa waktu yang lalu.
Dalam konteks pemberian gelar adat, menurut hemat saya, yang perlu dicermati bukan pada persoalan upacara pemberiannya (gelar adat) dengan penghelatan yang cukup besar bahkan kemudian diekspos ke berbagai media baik cetak maupun elekronik (kerangka sosialisasi). Tetapi yang perlu dicermati adalah justeru terletak pada makna dan arti pentingnya pemberian gelar adat kepada orang minang yang sedang berada di perantauan.
Pemberian gelar adat kepada anak kemenakan sebagai datuak, pangulu atau niniak mamak. Kita bersama-sama mengetahui bahwa pemberian gelar tersebut bukan dilihat dalam konteks formalitas belaka, tetapi lebih diartikan pada peran dan fungsi niniak mamak itu sendiri sebagai pimpinan yang mengemban amanah dari anak kemenakannya serta dalam tataran yang lebih pemberi amanah orang kampung dan nagari.
Secara adat disebutkan bahwa pangulu atau datuak adalah orang yang “ditinggikan serantiang, didahulukan selangkah. Makna adat ini menunjukan bahwa pangulu atau datuak adalah mengemban fungsi dan tugas sebagai pimpinan, baik dalam kaum, suku maupun nagari. Hal ini terlihat dalam pepatah adat yang menyatakan bahwa “kaluak paku kacang balimbing, tempurung lenggang lenggokan, urang bajalan ka saruaso, anak dipangku, kemenakan dibimbiang, urang kampuang dipatengkan, jago nagari jang banaso”.
Mencermati kedua pepatah adat diatas, pangulu atau datuak di Minangkabau mengemban tugas dan tanggung jawab yang cukup berat, tidak saja kepada kemenakan, anak tetapi juga orang kampung dan nagari. Apabila tugas dan tanggung jawab ini tidak berjalan sebagaimana mesti dapat berakibat kepada binasanya nagari. Jadi fungsi dan peran pangulu atau datuak yang dilewakan secara adat melalu upacara sakra “Batagak Pangulu” bukan sekedar formalitas belaka saja.
Nah, bagaimana dengan pangulu atau datuak yang telah dilewakan gelar adat (sako) tersebut tidak berada dikampung halamannya tetapi mereka tinggal dan hidup diperantauan. Inilah sesuatu yang menurut hemat saya sesuatu yang ironis dan fenomenal hari ini. Tak bisa kita pungkiri, saat ini sangat banyak gelar adat, apakah sebagai pangulu atau datuak di tingkat kaum dan suku yang mereka tidak berada di kampungnya tetapi diperantauan, misal di Jakarta, Medan, Bandung dan daerah lainnya. Pendek kata jauh dari kampung halamannya, kalau-pun mereka pulang hanya pada saat hari raya saja atau karena ada salah satu sanak keluarganya yang meninggal dunia bahkan terkadang hal seperti ini-pun tertinggalkan maklum kesibukan orang perkotaan.
Ironis memang, pertanyaan kemudian yang mengelitik adalah kapan waktunya bagi pangulu atau datuak yang telah dilewakan dengan gelar adat tersebut sebagai pimpinan akan menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diembannya untuk membimbing anak kemenakan, orang kampung dan nagarinya sendiri. Fakta ini mungkin sulit untuk kita jawab, tetapi fakta yang kita lihat dalam kehidupan sehari-hari adalah pangulu atau datuak yang berada diperantauan tersebut biasanya mereka akan menunjuk dan mengangkat salah seorang wakilnya dikampung yang disebut dengan “Panungkek” . Panungkek lah yang mengantikan tugas dan tanggung jawab pangulu atau datuak yang diperantauan tadinya seperti rapat adat, membina dan membimbing anak kemanakan dan lain sebagainya terutama berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab pangulu atau datuak di kampung halamannya.
Bila kita lihat sepintas lalu saja, cukup memperihatinkan kondisi seperti ini, apakah tidak cukup baik dan efektif, bila pangulu dan datuak yang diangkat dan diberi gelar adat (sako) tersebut, dilewakan saja kepada anak kemanakan atau keluarga yang berada dan menetap dikampung. Dari pada melewakan atau memberikan tugas dan tanggung jawab kepada seseorang yang sebenarnya mereka tidak memiliki waktu, tenaga, kesempatan bahkan pengetahuan adat itu sendiri. Mungkin lebih efektif dan cukup berarti peran dan fungsi pangulu atau datuak itu sendiri ketimbang mengangkat pangulu atau datuak yang berada dan menetap diperantauan.
Tetapi itulah yang fenomena dan fakta kongkrit yang membuat kita terheran-heran di dunia modern ala masyarakat Minangkabau saat ini. Banyak pemahaman dan pola pikir orang kita yang telah bergeser dari tatanam nilai yang sebenarnya ke hal-hal yang sebenarnya tidak memiliki arti dan makna mendalam. Mungkin juga kita sudah terjebak dan masuk pada skenario yang justeru berupaya untuk menghancurkan tatanan adat dan masyarakat Minangkabau sendiri, tetapi kadang kala kita sendiri pernah menyadarinya. Itulah fotret masyarakat minangkau ala moderen dan sok-sok canggih hari ini.
Bagi mereka sesuatu yang menarik dan membanggakan tersebut adalah hal-hal yang bersifat formalistis, simbolisasi bahkan juga politik atas nama. Mereka tidak lagi bangga dan tertarik pada sesuatu yang sebenarnya memiliki arti, makna dan manfaat bagi anak kemenakannya, orang kampung bahkan nagari.
Coba kita fikirkan sesaat, apa guna dan manfaatnya gelar adat seperti datuk ini, datuk itu di perantauan, tentunya orang di rantau tersebut tidak mengerti. Kalau-pun mereka mengerti dan paham mungkin hanya untuk hal-hal yang bersifat formalistis belaka saja dan kebanggaan tanpa makna atau sekedar menunjukan bahwa kita seorang datuak atau pangulu. Kalau hanya untuk itu tentunya sudah terjadi proses pengecilan terhadap arti dan makna seorang pangulu atau datuak itu sendiri. Justeru peran, fungsi dan tanggung jawab seorang pangulu atau datuak yang paling dibutukan saat ini adalah di kampung bukan di perantauan.
Bila dilihat lebih jauh, fakta ini secara tidak langsung telah berakibat terjadinya distorsi atau pergeseran nilai-nilai adat Minangkabau itu sendiri bahkan telah kehilangan jati diri dan indentitas atau kedepan tak dipungkiri akan terjadi “kematian adat minangkabau” itu sendiri. Sebagai contoh kecil saja, berapa banyak fakta yang kita lihat anak kemenakan yang tidak kenal dan tahu lagi dengan mamaknya, parahnya kadangkala anak kemenakannya sendiri telah banyak memanggil mamaknya sendiri dengan panggilan “Om” bukan mamak lagi yang mungkin mulai asing ditelingganya.
Begitu pula halnya dengan harta pusaka, dimana gelar adat (sako) tidak bisa dipisahkan dari pusaka (harta benda) yakni “sako dan pusako”. Artinya keberadaan sako sesungguhnya karena ada pusaka. Oleh karenanya pemberian gelar adat kepada seseorang salah satunya adalah untuk menjaga harta pusako agar tidak berpindah tangan atau habis terjual, tergadaikan kepada orang lain. Faktanya yang terjadi adalah hingga saat ini sudah lebih dari 60 % harta pusaka berupa tanah ulayat habis dan berpindah kepemilikannya kepada pihak lain di Minangkabau baik yang dikuasai pemerintah, militer maupun oleh perusahan termasuk tanah ulayat yang telah diindividualisasikan menjadi milik pribadi melalui program sertifikat tanah adat (ulayat).
Pada persoalan tanah ulayat di Minangkabau yang sangat ironis sekali adalah kontribusi besar beberapa oknum pangulu, niniak mamak atau pemuka adat di tingkat nagari sebagai pelaku habisnya tanah ulayat di ranah minang ini. Dari beberapa temuan dilapangan pada konflik tanah ulayat, justeru niniak mamak, pangulu atau pemuka adat sendirilah yang menjadi pelaku penjualan dan penyerahan tanah ulayat kepada pihak ketiga, akhirnya konflik horizontal antara anak kemenakan dan mamaknya sendiri tak terhindarkan seperti di nagari Mungo Kab. 50 Kota dan nagari Kapar kab. Pasaman Barat. Sedangkan menurut adat Minangkabau yang kita warisi secara turun temurun telah digariskan bahwa status kepemilikan tanah ulayat atau harta pusaka (pusaka tinggi) adalah bersifat komunal dan tidak boleh diperjual belikan atau dipindah tangankan kepada pihak lain “dijua indak dimakan bali, digadai indak dimakan sando, buahnyo nan bisa diambiak dan aienyo nan bisa di minum, kabau tagak kubangan tingga” dan untuk menjaga dan melindungi keberlangsungan tanah ulayat bukankah itu tugas dan fungsinya seorang pangulu, niniak mamak atau pemuka adat di tingkat nagari yang telah dilewakan dengan upacara sakral “Batagak Pangulu” oleh anak kemenakannya.
Kedepan kondisi inilah yang semestinya menjadi bahan refleksi dan evaluasi kita bersama di Minangkabau (Sumatera Barat). Apabila kita masih bangga dengan adat dan budaya ranah minang yang merupakan ciri khas dan identitas kita sendiri dan rasa kebanggaan kita, tidak tinggal (tersisa) hanya sekedar romatisme masa lalu atau cerita politik orang minangkabau ketika berdiri di depan publik dan berbicara di forum-forum resmi tentang “keminangkabauan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar